index.jpeg
Latar Belakang
Manusia menggantungkan hidupnya kepada sumberdaya tanah dalam rangka memenuhi hajat hidup mereka dan intensitasnya terus meningkat. Sebagai konsekuensi dari hal itu terjadinya peningkatan tekanan penduduk terhadap lingkungan tanpa
memperhatikan kemampuan lingkungan itu sendiri. Keadaan ini akan mendorong kemerosotan
sumberdaya tanah baik mutu maupun jumlahnya. Gejala fisik yang nampak jelas di tempat
kejadian (on site) adalah semakin tipisnya lapisan tanah, sehingga kemampuan fungsi
tanah sebagai media tumbuh tanaman dan media pengatur daur air menjadi terbatas yang pada
akhirnya kemunduran kemampuan lingkungan tidak dapat terhindarkan.
Beberapa fungsi tanah yang dapat dikemukakan yaitu antara lain sumber
unsur hara, sumber air, penyedia udara, landasan tumbuh bagi tanaman, tempat hidup bagi
hewan dan manusia, tempat dikuburkannya manusia, sebagai bahan urugan perumahan dan jalan,
tempat mendirikan bangunan, sanitasi lingkungan (penyaring, penyangga, dan alihrupa), dan
bahan pembuat manusia pertama (Adam). Sebagian dari fungsi tanah tersebut yaitu sumber
unsur hara, sumber air, penyedia udara, dan landasan tumbuh bagi tanaman lebih
berorientasi pada media tumbuh tanaman (pertanian), sehingga di sini pembahasannya
ditekankan pada hal-hal tersebut.
Dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) No.32 Tahun 2009 dinyatakan bahwa: "Pengelolaan lingkungan hidup yang
diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat
bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa". Sedangkan dalam
penjelasannya dinyatakan bahwa: "... Asas berkelanjutan mengandung makna setiap orang
memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap
sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut,
maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan
hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan". Karena itu, dalam mengelola
sumberdaya alam harus diupayakan untuk melestarikan kemampuan lingkungan.
Namun demikian, lingkungan hidup yang lestari tentunya tidak mungkin
diwujudkan secara fisik, tetapi yang dapat dilestarikan hanyalah fungsi dari lingkungan
hidup itu sendiri. Hal ini sesuai dengan bunyi UULH No. 32 Tahun 2009 yaitu
bahwa: "Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan,
pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup".
Sumberdaya alam yang utama adalah air dan tanah. Salah satu faktor yang
turut mempercepat kemerosotan kemampuan sumberdaya alam yaitu terjadinya erosi. Timbulnya
erosi akan menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pengendali tata air,
media pertumbuhan tanaman yang nantinya akan berpengaruh pula terhadap makhluk hidup yang
memanfaatkannya.
Sebagian besar daerah-daerah di Indonesia yang beriklim tropika
mempunyai rata-rata curah hujan dan intensitas hujan yang relatif tinggi serta didukung
kondisi topografi yang berbukit-bukit merupakan salah satu pemacu timbulnya proses erosi.
Bahaya erosi ini akan semakin mengkhawatirkan, apabila di dalam mengelola sumberdaya alam
tanpa memperhatikan kaidah konservasi sumberdaya alam khususnya sumberdaya tanah, sehingga
secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kelestarian kemampuan
fungsi lingkungan. Upaya pelestarian ini salah satunya adalah melalui pengendalian erosi
tanah di setiap tipe penggunaan lahan (Rahim, S.E., 2003). Untuk itu usaha pengendalian
erosi secara tepat perlu dilakukan dalam upaya melestarikan kemampuan fungsi lingkungan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi
Erosi merupakan suatu proses hilangnya lapisan tanah, baik disebabkan
oleh pergerakan air maupun angin (Foth, 1995, halaman 665-666). Di daerah beriklim tropika
basah, seperti sebagian besar daerah di Indonesia, air hujan merupakan penyebab utama
terjadinya erosi sehingga di sini pembahasannya dibatasi erosi tanah yang disebabkan oleh
air.
Menurut Arsyad S. (1989, halaman 30), erosi adalah peristiwa pindahnya
atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh
media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat
terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan pada suatu tempat lain. Pengangkutan atau
pemindahan tanah tersebut terjadi oleh media alami yaitu antara lain air atau angin. Erosi
oleh angin disebabkan oleh kekuatan angin, sedangkan erosi oleh air ditimbulkan oleh
kekuatan air.
Kekuatan perusak air yang mengalir di atas permukaan tanah akan semakin
besar dengan semakin panjangnya lereng permukaan tanah. Tumbuhan-tumbuhan yang hidup di
atas permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil
kekuatan butir-butir perusak hujan yang jatuh, serta daya dispersi dan angkutan aliran air
di atas permukaan tanah. Perlakuan atau tindakan-tindakan yang diberikan manusia terhadap
tanah dan tumbuh-tumbuhan di atasnya akan menentukan kualitas lahan tersebut.
Erosi merupakan akibat
interaksi antara faktor-faktor iklim, topografi, tumbuh-tumbuhan, dan campur tangan
manusia (pengelolaan) terhadap lahan, yang secara deskriptif dinyatakan dalam persamaan
seperti di bawah ini :
E = f (i, r, v, t, m)
E = besarnya erosi,
i = iklim,
r = topografi,
v = tumbuh-tumbuhan,
t = tanah,
m = manusia.
Persamaan umum erosi tanah tersebut di atas mempunyai makna dua jenis peubah, yaitu: 1)
Faktor yang dapat diubah oleh manusia, seperti; tumbuh-tumbuhan, sifat-sifat tanah, dan
satu unsur topografi yaitu panjang lereng, 2) Faktor yang tidak dapat diubah oleh manusia
yaitu; iklim, tipe tanah, dan kecuraman lereng.
Dampak Erosi
Secara garis besar kerusakan yang timbul akibat adanya erosi tanah
yaitu penurunan kesuburan tanah dan timbulnya pendangkalan akibat proses sedimentasi
(Wudianto R., 1989, halaman 11 - 13).
Tanah yang subur umumnya terdapat pada lapisan tanah atas atau
permukaan (top soil), sedang lapisan tanah bawah (sub soil) dapat dikatakan
kurang subur. Apabila terjadi hujan dan dapat menimbulkan erosi, maka lapisan tanah
ataslah yang akan terkikis kemudian terbawa oleh aliran air. Dengan terangkutnya lapisan
tanah atas, maka tertinggal lapisan tanah bawah yang kurang subur. Kemudian jika tanah
tersebut ditanami, maka tanaman tidak akan dapat tumbuh subur dan hasilnya akan berkurang.
Dengan berkurangnya hasil panen akan mengurangi pendapatan petani.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa proses terjadinya erosi adalah
terkikisnya butir-butir tanah, kemudian dengan adanya aliran air butir-butir tanah
terangkut sampai tidak mampu lagi mengangkut butir-butir tanah, maka tanah tersebut
diendapkan. Pengendapan ini akan terjadi pada daerah yang lebih rendah, misalnya: sungai,
waduk, saluran-saluran pengairan dan laut.
Pengendapan di sungai akan mengakibatkan pendangkalan yang dapat
mengurangi kemampuan sungai untuk menampung air sehingga pada musim penghujan biasanya
akan terjadi banjir. Pendangkalan sungai dapat mengganggu lalu lintas pelayaran kapal.
Seperti diketahui bahwa sejarah telah membuktikan dulu sungai-sungai di Jawa masih dapat
dilewati kapal, namun sekarang sudah tidak ada lagi sehingga tinggal sungai-sungai yang
ada di luar pulau Jawa yang dapat dilalui kapal-kapal.
Sebagai akibat pendangkalan sungai ini dapat merembet ke laut, karena
aliran air sungai bermuara ke laut. Sekarang banyak pelabuhan yang mengalami pendangkalan.
Dengan terjadinya pendangkalan di pelabuhan, maka kapal-kapal besar akan mengalami
kesulitan untuk merapat.
Pendangkalan di waduk juga sulit untuk dihindarkan. Dengan makin
dangkalnya waduk dapat mengurangi umur waduk. Artinya, daya guna waduk yang semula
diperkirakan dapat lama, ternyata baru beberapa tahun saja sudah tidak berfungsi lagi.
Sebagai contoh waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, Jawa Tengah. Waduk ini diperkirakan dapat
mencapai umur 100 tahun ternyata setelah diteliti karena adanya sedimentasi maka hanya
dapat mencapai lebih kurang 27 tahun.
Menurut Arsyad (1989, halaman 3 - 4), dampak erosi tanah terhadap
lingkungan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bentuk dampak langsung maupun tidak
langsung yang dikaji di tempat kejadian erosi maupun di luar tempat berlangsungnya erosi,
seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Dampak Erosi Tanah.
Bentuk Dampak
|
Dampak di Tempat Kejadian
|
Dampak di Luar Tempat
|
|
Erosi
|
Kejadian Erosi
|
1. Langsung
|
- Kehilangan lapisan tanah yang baik bagi
berjangkarnya akar tanaman
|
- Pelumpuran dan pendangkalan waduk,
sungai, saluran dan badan air lainnya
|
|
- Kehilangan unsur hara dan kerusakan
struktur tanah
|
- Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan
bangunan lainnya
|
|
- Peningkatan penggunaan energi untuk
produksi
|
- Menghilangnya mata air dan memburuknya
kualitas air
|
|
- Kemerosotan produktivitas tanah atau
bahkan menjadi tidak dapat dipergunakan untuk berproduksi
|
- Kerusakan ekosistem perairan (tempat
bertelur ikan, terumbu karang dan sebagainya)
|
|
- Kerusakan bangunan konservasi dan
bangunan lainnya
|
- Kehilangan nyawa dan harta oleh banjir
|
|
- Pemiskinan petani penggarap/ pemilik
tanah
|
- Meningkatnya frekuensi dan masa
kekeringan
|
2. Tidak Langsung
|
- Berkurangnya alternatif penggunaan tanah
|
- Kerugian oleh memendeknya umur waduk
|
|
- Timbulnya dorongan/ tekanan untuk
membuka lahan baru
|
- Meningkatnya frekuensi dan besarnya
banjir
|
|
- Timbulnya keperluan akan perbaikan lahan
dan bangunan yang rusak
|
|
Sumber: Arsyad S. (1989)
Mengingat bahaya erosi yang merugikan bagi
lingkungan, sejak beberapa tahun yang lampau manusia telah menyadari dan melakukan
berbagai usaha pencegahan (pengendalian) erosi.
Klasifikasi Erosi Tanah
Atas dasar intensitas campur tangan manusia, erosi dibedakan antara
erosi alami atau erosi geologi (geological erosion) dan erosi dipercepat (accelarated
erosion) (Arsyad S., 1989, halaman 30). Erosi geologi terjadi secara alami pada tanah
yang masih tertutup vegetasi secara alami, dan biasanya berjalan sangat lambat. Dalam
kondisi seperti ini, jumlah tanah terangkut sangat sedikit, dan baru akan meningkat jika
terjadi bencana alam yang berakibat tanah jadi terbuka. Erosi dipercepat terjadi karena
manusia membuka tanah dengan membuang vegetasi baik sebagian maupun seluruhnya, yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (tempat tinggal, industri, usaha tani, dan
lain-lain). Proses erosi ini akan berjalan dengan cepat, terlebih di daerah yang mempunyai
potensi erosi dan tanpa usaha pengendalian.
Erosi yang terjadi dapat dibedakan berdasarkan produk akhir
yang dihasilkan proses itu sendiri. Erosi juga dapat dibedakan karena kenampakan lahan
akibat erosi itu sendiri. Atas dasar itu erosi dibedakan yaitu : 1) erosi percikan (splash
erosion), 2) erosi lembar (sheet erosion), 3) erosi alur (rill erosion),
4) erosi parit (gully erosion), 5) erosi tanah longsor (land slide), 6)
erosi pinggir sungai (stream bank erosion) (Rahim S.E., 1995, halaman 33 - 34).
Erosi percikan terjadi pada awal hujan. Intensitas erosi percikan
meningkat dengan adanya air genangan tetapi setelah terjadi genangandengan kedalaman tiga
kali ukuran butir hujan, erosi percikan minimum. Pada saat inilah proses erosi lembaran
dimulai. Erosi lembar akan dapat ditemukan secara jelas di daerah yang relatif seragam
permukaannya.
Erosi alur dimulai dengan adanya konsentrasi limpasan permukaan.
Konsentrasi yang besar akan mempunyai daya rusak yang besar. Bila ukuran alur sudah sangat
besar, tidak dapat dihilangkan hanya dengan melakukan pembajakan biasa, atau alur tersebut
berhubungan langsung dengan saluran pembuangan utama, maka erosi yang terjadi telah
memenuhi kategori erosi parit. Sedangkan erosi tanah longsor ditandai dengan bergeraknya
sejumlah massa tanah secara bersama-sama. Hal ini disebabkan karena kekuatan geser tanah
sudah tidak mampu untuk menahan beban massa tanah jenuh air di atasnya. Kejadian ini
terutama terjadi pada lapisan tanah atas dangkal yang terletak lepas di batuan atau
lapisan tanah tidak tembus air (impermeable). Adapun erosi pinggir sungai yang
mirip erosi tanah longsor mengikis pinggir sungai-sungai yang karena sesuatu hal mengalami
longsor terutama bila pinggir sungai itu vegetasi alaminya ditebang dan diganti dengan
tanaman baru.
Batas Toleransi Erosi
Sebagai sumber daya yang banyak digunakan, tanah dapat mengalami
pengikisan (erosi) akibat bekerjanya gaya-gaya dari agen penyebab, misalnya air hujan,
angin dan/atau hujan. Jadi, secara alamiah tanah mengalami pengikisan atau erosi (Rahim
S.E., 1995).
Erosi dipercepat yang disebabkan oleh manusia, masih dianggap aman jika
tidak melewati suatu batas toleransi (soil loss tolerance atau permisible
erosion). Banyak pendapat para pakar erosi yang mengemukakan besarnya batas toleransi
erosi, yang masing-masing berbeda tergantung dari faktor lingkungan di sekitarnya. Secara
khusus, penelitian batas toleransi erosi untuk tanah-tanah di Indonesia sampai saat ini
belum ada. Oleh Arsyad (1989, halaman 237 - 244), dianjurkan untuk mempergunakan batas
toleransi erosi yang dikemukakan oleh Thompson (1957), seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pedoman Penetapan Nilai T (batas toleransi erosi) (Thompson,
1957)
Sifat Tanah dan Substratum
|
Nilai T
|
|
Ton/acre/tahun
|
Ton/ha/tahun
|
1. Tanah dangkal di atas batuan
|
0,5
|
1,12
|
2. Tanah dalam, di atas batuan
|
1,0
|
2,24
|
3. Tanah dengan lapisan bawahnya (subsoil)
padat,
|
|
|
di atas substrata yang tidak
terkonsolidasi (telah
|
|
|
mengalami pelapukan)
|
2,0
|
4,48
|
4. Tanah dengan lapisan bawahnya
berpermeabilitas
|
|
|
lambat, di atas bahan yang tidak
terkonsolidasi
|
4,0
|
8,96
|
5. Tanah dengan lapisan bawahnya
berpermeabilitas
|
|
|
sedang, di atas bahan yang tidak
terkonsolidasi
|
5,0
|
11,21
|
6. Tanah yang lapisan bawahnya permeabel
(agak
|
|
|
cepat), di atas bahan yang tidak
terkonsolidasi
|
6,0
|
13,45
|
Dengan menggunakan kriteria yang dipergunakan oleh Thompson (1957),
dengan menentukan T maksimum untuk tanah yang dalam, dengan lapisan bawah yang permeabel,
di atas bahan (substratum) yang telah malapuk (tidak terkonsolidasi) sebesar 2,5
mm/tahun, dan dengan menggunakan nisbah nilai untuk berbagai sifat dan stratum tanah, maka
nilai T seperti tertera pada Tabel 3 disarankan untuk menjadi pedoman penetapan nilai T
tanah-tanah di Indonesia.
Tabel 3. Pedoman Penetapan Nilai T Untuk Tanah-tanah di Indonesia.
Sifat Tanah dan Substratum
|
Nilai T
|
|
mm/tahun
|
1. Tanah sangat dangkal di atas batuan
|
0,0
|
2. Tanah sangat dangkal di atas bahan
telah melapuk (tidak terkonsolidasi)
|
0,4
|
3. Tanah dangkal di atas bahan telah
melapuk
|
0,8
|
4. Tanah dengan kedalaman sedang di atas
bahan telah melapuk
|
1,2
|
5. Tanah yang dalam dengan lapisan bawah
yang kedap air di atas substrata yang telah melapuk
|
1,4
|
6. Tanah yang dalam dengan lapisan bawah
berpermeabilitas lambat, di atas substrata telah melapuk
|
1,6
|
7. Tanah yang dalam dengan lapisan
bawahnya berpermeabilitas sedang, di atas substrata telah melapuk
|
2,0
|
8. Tanah yang dalam dengan lapisan bawah
yang permeabel, di atas substrata telah melapuk
|
2,5
|
Catatan :
Kedalaman tanah efektif yaitu kedalaman tanah yang baik bagi
pertumbuhan akar tanaman, yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus akar
tanaman. Kriterianya : > 90 cm = dalam,
50 - 90 cm = sedang,
25 - 50 cm = dangkal,
< 25 cm = sangat dangkal.
Persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation)
Lahan pertanian yang terus menerus ditanami tanpa cara pengelolaan
tanaman, tanah dan air yang baik dan tepat, terutama di daerah pertanian dengan curah
hujan yang tinggi (> 1500 mm per tahun) akan menurunkan produktivitasnya. Penurunan
produktivitas ini secara lambat atau cepat dapat disebabkan oleh menurunnya kesuburan
tanah dan terjadinya erosi (Syah, R., 1995).
Bahaya erosi ini banyak terjadi di daerah-daerah lahan kering terutama
yang memiliki kemiringan lereng sekitar 15 persen atau lebih. Keadaan ini sebagai akibat
dari pengelolaan tanah dan air yang keliru atau penerapan pola pertanian yang tidak sesuai
dengan kemampuan fungsi lingkungannya.
Tanah dan air merupakan dua sumber daya alam yang utama, peka
terhadap berbagai kerusakan (degradasi). Kerusakan air berupa hilangnya sumber air
dan menurunnya kualitas air antara lain disebabkan oleh proses sedimentasi yang bersumber
pada kerusakan tanah oleh erosi. Di daerah tropika basah kerusakan tanah yang paling utama
dan semakin kritis adalah disebabkan oleh erosi tanah.
Kerusakan tanah yang kadang-kadang sampai pada tingkat kritis seperti
penurunan produktivitas tanah, banjir yang terjadi setiap tahun, merosotnya debit air
sungai di musim kemarau dan meningkatnya kandungan lumpur atau bahan organik pada musim
hujan merupakan tanda-tanda kerusakan sumberdaya alam di suatu wilayah .
Laju erosi yang menyatakan banyaknya lapisan tanah yang hilang dari
suatu tempat karena proses erosi, merupakan salah satu indikator kecepatan proses
perusakan. Perhitungan laju erosi dapat dilakukan secara nisbi (relatif), yaitu
berdasarkan nilai bahaya atau besarnya nilai faktor-faktor yang mempengaruhi erosi.
Perkiraan atau prediksi besarnya laju erosi yang mungkin terjadi di lapangan dapat
ditentukan antara lain dengan menggunakan metode Wischmeier dan Smith (1978) yang dikenal
dengan Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT) atau dalam bahasa Inggris Universal
Soil Loss Equation (USLE) , yaitu sebagai berikut :
A = R x K x L x S x C x P
A adalah banyaknya tanah tererosi (ton/ha/tahun),
R adalah faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan
indeks erosi hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan
intensitas hujan maksimum 30 menit (I30 ), tahunan,
K adalah faktor erodibilitas (kepekaan) tanah, yaitu laju erosi per
indeks erosi hujan � untuk suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu
petak percobaan yang panjangnya 22 meter (72,6 kaki) terletak pada lereng 9 % tanpa
tanaman,
L adalah faktor panjang lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari
tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng
22 meter (72,6 kaki) di bawah keadaan yang identik,
S adalah faktor kemiringan/kecuraman lereng, yaitu nisbah antara
besarnya erosi yang terjadi dari suatu tanah dengan kemiringan lereng tertentu, terhadap
besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9 % di bawah keadaan yang identik,
C adalah faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu
nisbah antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan
tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman,
P adalah faktor tindakan khusus konservasi tanah, yaitu nisbah antara
besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus seperti
pengolahan tanah menurut kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap besarnya erosi
dari tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan yang identik.
Metode Pengendalian Erosi
Usaha pengendalian erosi pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3
metode, yaitu :
1. Metode Vegetatif
Metode ini mempergunakan tumbuhan atau tanaman dan sisa-sisanya untuk
mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, jumlah dan daya rusak aliran permukaan. Fungsi
tumbuhan dalam metode ini untuk : a) melindungi tanah dari daya perusak butir-butir hujan,
b) melindungi tanah dari aliran permukaan, dan c) memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah
dan penahanan air yang akan mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Termasuk dalam metode
vegetatif ini diantaranya; budidaya tanaman semusim (jagung, kacang tanah, dan lain-lain)
secara musiman atau tanaman permanen, penanaman dalam strip cropping, pergiliran
tanaman, sistem pertanian hutan (agro forestry), pemanfaatan sisa tanaman.
- Metode Mekanik
Metode mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan
terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, serta
meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Metode mekanik dalam pengendalian erosi
berfungsi: a) memperlambat aliran permukaan, b) menampung dan menyalurkan aliran permukaan
dengan kekuatan yang tidak merusak, c) memperbaiki atau memperbesar infiltrasi air ke
dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah, serta d) menyediakan air bagi tanaman. Termasuk
dalam metode mekanik adalah pengolahan tanah (tillage), pengolahan tanah menurut
kontur (contour cultivation), guludan dan guludan bersaluran menurut kontur, teras
(teras bangku, teras berlereng), dam penghambat (check dam, waduk, rorak, tanggul), dan
perbaikan drainase.
- Metode Kimiawi
Metode kimia dalam pengendalian erosi menggunakan preparat kimia
sintetis atau alami. Metode ini sering dikenal dengan sebutan soil conditioner,
yang bertujuan memperbaiki struktur tanah. Beberapa contoh soil conditioner yaitu; PVA (Polyvinyl
alcohol), PAA (Poly acrylic acid), VAMA (Vinyl acetate malcic acidcopolymer),
DAEMA (Dimethyl amino ethyl metacrylate), dan Emulsi Bitumen.
Sering pula dilakukan pengendalian erosi dengan mengkombinasikan dari
dua metode pengendalian erosi atau bahkan ketiga metode tersebut di atas digunakan secara
bersamaan dalam usaha mengendalikan erosi.
Penutup
Sejumlah usaha untuk pengendalian erosi tanah telah tersedia, masing-masing mempunyai nilai keuntungan
ekonomis yang berbeda, serta mempunyai kemampuan yang berbeda pula dalam menekan laju
erosi. Selain macam tanaman, sistem pengelolaan dan metode pengendalian yang digunakan
berpengaruh terhadap besarnya laju erosi. Oleh karena itu, perlu dicarikan berbagai alternatif pemilihan
usaha pengendalian erosi tanah berdasarkan keuntungan dan risiko besarnya erosi yang
mungkin terjadi. Selanjutnya para pengelola sumberdaya (misal: petani) dapat diarahkan
agar bersedia untuk memilih tanaman dan metode pengendalian erosi yang mampu memberi
keuntungan cukup tinggi serta risiko timbulnya erosi serendah-rendahnya.
Daftar Pustaka
Arsyad S., 1989, Konservasi Tanah dan Air, IPB Press,
Bogor.
Foth H.D., 1995, Dasar-dasar Ilmu Tanah, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Rahim S.E, , Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pengendalian
Erosi Tanah, UNSRI, Palembang.
Rahim S.E., Pengendalian erosi tanah dalam rangka pelestarian lingkungan hidup. Bumi Aksara, Jakarta.
Schwab G.O., Richard K.F., Kenneth K.B., 1981, Soil and Water
Conservation Engineering, John Wiley & Sons, New York.
Syah A.R., 1995, Penentuan Erosi dan Sedimentasi Pada Daerah Aliran
Sungai (DAS), Majalah Ilmiah Universitas Jambi No.45 Tahun 1995, Jambi.
Wudianto, R., 1989, Mencegah Erosi, Penebar Swadaya, Jakarta.
bahan: ut.ac.id