Hamba Allah, dosen dan peneliti FP dan PPS UNSRI, sup_effendi@yahoo.co.id HP +62 82184824570 Komplek Bukit Sejahtera Blok DM 99 RT 56 Bukit Lama Palembang 30139 Indonesia Telp +62 711 441140 Palembang, 2007
Video: http://www.youtube.com/watch?v=43t8bFztUuA
PENGANTAR
Panen hujan bukan hal baru. Pemanfaatan
air hujan untuk kehidupan manusia diyakini sama tuanya dengan
kedatangan manusia pertama dani bumi. Suatu referensi terbaik dan
terlengkap tentang proses terjadinya dan manfaat air hujan bagi
kehidupan manusia tertulis dalam firman Tuhan (Al-qur’an) sejak 1400
tahun yang lalu.
Penulis dilahirkan dan dididik dari
keluarga petani di salah satu desa kecamatan Seginim kabupaten Bengkulu
Selatan Bengkulu. Ayah penulis bernama H. A. Rahim dan ibu Hj. Rahina.
Keluarga seperti itu sangat memahami makna air sebagai rahmat Tuhan
Yang Maha Pemberi Rezeki. Bila tanpa air (sering diuji dengan kemarau
panjang) maka dengan sendirinya rezeki menjadi berkurang baik dalam
jumlah dan keberkatannya. Perkenalan dengan al-qur’an surat al-ambiya
ayat 30 yang berbunyi: ”Kami jadikan semua yang hidup dari air, mengapa
kamu tidak mau beriman”, menjadikan penulis semakin memahami ”harga”
air hujan – tidak ternilai.
Sejak masih menyewa dari bedeng ke bedeng
di dasa warsa 70-an hingga 90-an penulis mempunyai cita-cita untuk
memiliki sebidang tanah di manapun berada untuk dibangun sistem panen
hujan. Sistem panen hujan yang dimaksud adalah sistem yang dibangun
untuk menampung semua air hujan yang jatuh pada lahan pekarangan dan
rumah. Alhamdulillah pada tahun 1998 bulan Agustus penulis dipertemukan
dengan tetangga di luar tembok luar kompleks tempat penulis tinggal 5
tahun sebelumnya. Dia menawarkan lahan rawa persis di berbatasan tembok
kompleks Bukit Sejahtera.
Setelah dicapai saling pengertian dan
perjuangan panjang (karena uang terbatas) maka lahan rawa dengan luas
1.440 m2 itu resmi menjadi milik keluarga. Lahan ini mulai ditata.
Prinsip “tidak menimbun bila tidak menggali” mulai diterapkan. Rawa
yang semula ditanam padi itu pada bagian tertentu digali lalu tanahnya
ditimbunkan di bagian yang lainnya. Mimpi penulis ingin membangun rumah
panen hujan mulai timbul dan tumbuh dengan subur. Pembangunan rumah
tersebut memperoleh pinjaman lunak dari Bank Sumsel Syariah Palembang.
Langkah awal yang lakukan adalah menggali
kolam di bagian timur (disepakati sebagai bagian depan) dan di bagian
barat (disepakati sebagai bagian belakang). Di bagian timur penulis
rancang sebagai kolam
(a) semua air atap ditampung
(b) dari dak palsu disalurkan dengan dengan dak palsu pipa ke penyaringan
(c) air hujan ditampung ke kolam renang
(d) hujan yang jatuh di halaman ditampung
di kolam depan rumah penampungan air hujan dari seluruh lahan. Luas
kolam ini dirancang berukuran panjang 30 m dan lebar 12 m (25% dari luas
lahan). Di bagian belakang adalah kolam penampungan air (belakangan
dijadikan kolam renang) yang berasal dari sebagian besar atap rumah.
Kolam renang ini berdimensi panjang 7 m lebar 5 m (2,5% dari seluruh
luas lahan). Daerah yang ditimbun selanjutnya ditanami sejumlah jenis
tanaman – pisang, ubikayu, sukun, kelapa, mangga, durian, pepaya dan
sebagainya.
Sekeliling bangunan dibuat dak palsu
sebagai “talang”. Alhamdulillah ¾ atap rumah sudah diarahkan saluran
pengaliran air hujan menuju “cikal bakal” kolam renang. Sisa atap yang
sudah dibuat talang berupa dak palsu sudah dibuat pipa penyalurannya
tetapi masuk ke kolam di depan rumah. Setiap terjadi hujan lebat air
hujan yang jatuh di bagian atap sebelah belakang rumah mampu
menghasilkan air pengisi kolam renang puluhan meter kubik. Sedikitnya
sekitar 6 sampai 10 meter kubik air bersih tertampung dalam kolam ini
setiap kejadian hujan. Kolam yang bisa menyampung 40 m3 itu penuh dalam
beberapa kali hujan lebat. Jumlah itu menghemat rekening ledeng hingga
Rp 300 ribu per bulan bahkan lebih besar dari jumlah itu.
TANGKI AIR BERMETER, SEBAGAI BAGIAN PANEN HUJAN
Ada yang unik dengan pembangunan sistem
panen hujan pada rumah penulis di Komplek Bukit Sejahtera blok DM 99 RT
56 Bukit Lama Palembang 30139 Indonesia. Pertama, tangki tersebut yang
dirancang bersama antara penulis dan James Miller (James adalah yunior
penulis dari University of Cranfield Inggrisn – diundang sebagai tenaga
volunter dari Silsoe Aid For Appropriate Dvelopment – SAFAD). Keunikan
Pertama adalah meter penunjuk ketinggian
muka air dalam tangki. Kedua, bentuk tangki yang bulat dan panjang –
mirip peluncur satelit). James menyarankan banyak hal tentang desain
tangki. Penulis juga melakukan yang sama. Namun, tukang kepercayaan
penulis sudah sangat pengalaman dan bila mereka (dua orang) tidak setuju
maka akan dibantahnya dan dicarikan alternatif yang dianggap paling
baik. Pembuatan meteran pembaca tinggi muka air berbeda dengan saran
semula yakni disatukan dengan pipa penyaluran air. Dengan menggunakan
elbow dan selang trasparan serta paku clamp dibuatlah meteran tersebut.
Alhamdulillah fungsinya baik dan enak dilihat. Bentuk tangki air hujan
yang bulat dan panjang menjadi daya tarik tersendiri.
Yang Menarik bahwa meskipun diameternya
hanya 2 m dan tingginya 3 m tetapi isinya bukan 6 m3 melainkan sekitar
10 m3. Ini menambah kekaguman penulis kepada sang pencipta jagad raya
yang semuanya berbentuk bola dengan demikian luas permukaannya luas dan
isinya banyak. Meski bumi dianggap planet yang berukuran “kecil”
dibanding dengan kebanyakan planet lain dalam tata surya matahari kita
namun karena bentuknya seperti bola maka diyakini bahwa dalam waktu lama
bumi tak akan penuh dengan manusia. Bumi bisa mendukung kehidupan
manusia sampai i jumlah sebanyak-banyaknya. Insya-Allah. Sejak
terbangunnya tangkii bermeter ini penulis semakin ingin mengajak semua
pihak untuk menerapkan sistem panen hujan tersebut di manapun. Tidak
urung kepala Dinas Pendidikan kota Palembang pernah menyatakan kepada
penulis tentang niat beliau untuk membangun sistem panen hujan pada
sekolah-sekolah yang ada di kota Palembang. Penulis waktu itu menjawab:
“siap pak, kami akan bantu”.
KEUNTUNGAN MENERAPKAN SISTEM PANEN HUJAN
Semua kita termasuk penulis masih senang
dengan fadhilah sesuatu amalan. Bila seseorang beriman maka selanjutnya
dia beramal shaleh. Kalau tidak maka imannya akan rusak. Karena orang
beriman mirip dengan sebatang pohon yang rindang dan kuat akarnya. Pohon
seperti itu harusnya menghasilkan buah yang disenangi lingkungannya –
manusia, binatang dan sebagainya. Buah ini sama dengan amal shaleh. Amal
shaleh yang benar harus dilengkapi dengan upaya saling berwasiat
tentang kebaikan dan saling berwasiat tentang kesabaran. Jadi tidak
lengkap bila hanya dengan memenuhi kebutuhan sendiri- tidak mengajak
orang lain. Panen hujan bukanlah hal sulit, yang penting ada kemauan.
Orang yang memahami dengan baik fadhilah sesuatu perbuatan tentu tidak
dengan serta merta pasti akan mengamalkannya (menerapkan teori yang ada
padanya). Upaya sosialisasi atau pemberian pelatihan tentang sistem
panen hujan di rumah-rumah merupakan awal yang baik. Bila telah tumbuh
kesadaran bahwa panen hujan merupakan pekerjaan mulia – baik untuk diri
sendir maupun lingkungan maka diyakini orang akan mengadopsinya. Maka
bila semua penduduk sudah banyak menerapkan sistem panen hujan tidak
saja ia akan memperoleh air hujan yang berkualitas tetapi dapat terjadi
pengurangan banjir di sekeliling tempat tinggalnya.
Bagaimana sistem panen hujan bisa
mengurangi banjir? Banjir yang dapat dikurangi dengan sistem panen hujan
tentunya banjir yang hanya disebabkan oleh air hujan. Banjir karena
limpahan air sungai akibat pasang atau banjir kiriman tidak dapat
diatasi dengan panen hujan. Ambil contoh pada areal lahan seluas 1500
m2. Pada areal seluas itu bila terjadi hujan selama 1 jam dengan
intensitas 50 mm/jam. Bila semua areal lahan itu kebanyakan merupakan
areal kedap air- atap, pelataran dari semen, jalan aspal maka nilai
karakteristik tangkapan (catchment characteristic, cc = 0,90). Dengan
demikian jumlah air yang terakumulasi dari areal lahan tersebut = 1500 x
0,90 x 50 x 0,001 m = 67,5 m3. Bila ada sistem panen hu jan dalam
bentuk kolam renang, tangki dan kolam ikan maka air dalam jumlah
tersebut tidak akan membanjiri areal lahan. Bila dari atap seluas 250 m2
semuanya masuk ke tangki dan kolam renang maka berarti air hujan yang
terpanen adalah sebanyak 1/6 x 67,5 m3 = 11,25 m3. Bila hujan dua kali
dari intensitas semula maka air hujan dengan kualitas baik yang bisa
disimpan adalah 22,5 m3. Jumlah ini sama dengan 6 tangki air PDAM. Bila 1
tangki harganya Rp 100 ribu maka keuntungan dari menampung air sama
dengan Rp 600 ribu. Angka ini hanya menggambarkan kesyukuran kita
pada-Nya.
Hujan yang dipanen secara baik dan
berkala di rumah sendiri, perkantoran, pasar, mesjid dan tempat-tempat
lainnya akan banyak selali memberi keuntungan. Keuntungan seperti ini
tentu saja berdimensi waktu yang lama namun memberikan banyak manfaat –
ekonomis, sosiologis, teologis dan ekologis. Secara ekonomis sudah tidak
bisa diragukan lagi. Air hujan memberikan keuntungan yang berlapis dan
efeknya multi. Dengan banyaknya air – ikan dan tanaman produksinya
berlimpah. Air hujan yang ditampung di kolam bisa disaring dengan
ijuk-pasir-arang-pasir-koral, hasilnya dimanfaatkan untuk mandi, cuci,
siram tanaman dan cuci kendaraan serta halaman rumah.
Tampungan air berbentuk kolam berfungsi
sebagai objek wisata yang alami. Pohon di sekitar kolam yang rindang
mengundang satwa dengan bunyi yang bermacammacam. Ada kolam berarti
memungkinkan dibangunnya air mancur dan/atau air terjun.
Kondisi seperti ini menjadikan penghuni
rumah nyaman- serasa seperti tinggal di dekat bukit/ngarai alami. Air
berisik dan terkadang ikan melompat-lompat seperti ingin bermain di
sekitar jatuhnya air.
Meminta orang sekitar untuk menangkap
ikan dengan cara tradisional – menggunakan waring besar seperti pukat
harimau – memberikan pelajaran berharga kepada penulis dan keluarga.
Tiga empat orang kepercayaan sejak lama menangkapkan ikan pada kolam di
halaman rumah yang berdimensi cukup luas dan dalam itu. Tanpa ada
perjanjian berapa ongkos untuk “bekarang” ikan itu mereka secara
sungguh-sungguh dan sabar menangkap ikan- tidak peduli dingin atau panas
matahari. Memang banyak ikan yang berhasil ditangkap. Sayang mereka
melewatkan sholat zuhur dan bahkan ashar. Pada saat salah seorang
terkena sengatan listrik karena saat terakhir mereka merasa lelah
penulis menyarankan memakai sistem “setrum”.
Menangkap ikan dengan menggunakan setrum
listrik sesungguhnya tidak dianjurkan dari aspek apapun – berbahaya bagi
penangkap ikan maupun bagi ikan itu sendiri. Bagi penangkap bahaya
setrum listrik dapat terjadi melalui sebab yang beragam – ada kabel
telanjang dan sebagainya. Waktu itu pernah satu orang kena setrum dan
hampir mati. Pada saat itulah penulis “menggugah” hatinya dengan
memberikan nasehat berupa jangan tinggalkan sholat, karena Allah masih
memberi kesempatan anda hidup. Tanpa jawaban yang pasti kecuali dia
ingin bersedekah tanda bersyukur bahwa dia masih hidup.
Pengalaman lainnya adalah bahwa ada jenis
ikan yang tidak tahan dengan himpitan derita sewaktu di-“rumah”kan
sementara pada bak air berukuran 2 m x 1 m x 1 m. Banyak ikan kecil dan
jenis tertentu yang mati. Ikan yang disetrum juga mati, tetapi ada jenis
tertentu yang tidak mati. Terangkatnya ikan-ikan dan udang kecil tanpa
diambil “pemilik” kolam menjadikan penulis sempat merenung sebagai
“pelajaran” dari Tuhan. Permisalan dari kejadian ini adalah bahwa
pemimpin umat semestinya “bijak” karena sepak terjang mereka banyak
membuat “sengsara” masyarakat kecil. Sangat sering terjadi di sekitar
kita bahwa para pemimpin sepertinya “akor-akor” tetapi pengikut mereka
saling membunuh.
Pelajaran lainnya yang dapat dipetik dari
kolam adalah bahwa limbah domestik dari dapur ternyata tidak
“mencemari” kolam yang jumlah airnya hampir 800 m3 itu. Pelajaran ini
mungkin merupakan “amsalu” dari ayat al-qur’an yang menyatakan bahwa
perbuatan dosa dapat “dilebur” oleh adanya “danau” kebaikan. Bahkan
kedatangan “limbah” yang kotor dan jorok itu (dua hari sekali) disambut
oleh udang berbagai ukuran dan jenis, siput air, serta ikan berbagai
jenis dan ukuran. Gudang tempat air dan limbah itu ternyata sejak lama
telah Allah “sulap” menjadi rumah udang gala, ikan, siput dan
sebagainya. Tidak kurang ribuan kilogram biomassa yang lezat dan
menyehatkan itu telah membuktikan firman Tuhan
“kami_jadikan_semua_yang_hidup_dari_air” itu.
“Betapa mulianya Engkau wahai Yang Maha
Mulia”, penulis sering bergumam. Bayangkan ikan, udang dan siput yang
sering diberi hidangan -yang busuk-busuk, basi dan tidak pernah akan
dikonsumsi kembali oleh “manusia” yang mengklaim dirinya mulia itu –
tumbuh dan berkembang biak dengan aneka warna dan ukuran. Ikan patin ada
yang berukuran 3 kg, gurami sekitar 2 kg, ikan seluang yang lebih besar
dari saudaranya di sungai-sungai, udang gala dan sebagainya. Tetangga
dan para penangkap ikan bergembira dengan kehadiran ikan dan udang itu
di rumah mereka. Ikan seluang menurut salah seorang tetangga baru satu
kali ini berukuran “jumbo”.
“Subhanallah”. Melalui kebaikan Engkau ya
Allah, biomassa yang tadinya busuk itu kami makan dengan lezatnya. Ini
sama dengan pepatah yang mengatakan “keburukan dibalas dengan kebaikan”.
Lezatnya udang dari kolam “serba guna” di halaman rumah penulis itu
sempat dimakan dengan lahapnya oleh James Miller, tamu kami yang
mengundang barokah Allah yang banyak.
BAGAIMANA KUALITAS AIR HUJAN DAN KOLAM?
Penulis telah melakukan analisis fisik,
kimia dan biologis air hujan, air kolam dan air kolam yang disaring
menggunakan saringan : ijuk_pasir_arang_pasir_koral_pasir_dan_batubata.
Secara fisik, kimia dan biologis semua air hujan memenuhi syarat
kesehatan sebagai minum, sedangjkan air kolam yang dijadikan kolam ikan
tidak memenuhi persyaratan kesehatan untuk air minum. Analisis
fisik-kimia-dan-biologis air dilakukan pada Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan Palembang melalui kebaikan mitra penulis meliputi Birmansyah
dan Heri (S2 Pengelolaan Lingkungan PPS Unsri) serta Amar Muntaha
(Kandidat S3 Ilmu Lingkungan PPS Unsri).
PENUTUP
Membangun rumah sistem panen merupakan
bentuk kesyukuran kepada Tuhan Yang Maha Bersyukur. Dari konteks apa hal
itu dikatakan bersyukur. Secara hakikat, semua yang di atas permukaan
langit dan bumi serta apa-apa yang ada didalamnya bertasbih kepada Tuhan
mereka. Tasbih mereka itu paling tidak adalah “subhanallah” (maha suci
allah – tanpa kekurangan satu apapun jua). Hujan sebagai salah satu
makhluk ciptaan Tuhan tentu bertasbih. Nah bila hujan “bertamu” ke
halaman, ke atap atau ke atas lahan pertanian kita maka sebaik-baik
“tuan rumah” adalah mereka yang melayani “tamunya” dengan baik. Allah
sangat senang yang memuliakan tamu karena hal itu adalah bagian dari
tanda syukur kepada-Nya.
Penulis berkeyakinan bahwa dengan
kesyukuran di atas maka Allah telah menganugerahkan banyak sekali rezeki
– melalui upaya panen hujan – pohon buah tumbuh subur, banyak burung
yang datang dengan suara yang merdu, ikan dan udang beraneka-ragam,
ditambah banyak tamu yang berkunjung dan sebagainya. Pemilik rumah dan
rumah itu sendiri sering dipotret oleh wartawan dan gambarnya dimuat di
harian, majalah, televisi dan sebagainya. “Maka nikmat mana lagi yang
masih kamu dustakan?”. QS surat ar-rohman. Mari kita tunaikan tugas kita
dengan baik – sebagai khalifah, hamba Allah dan da’i ilallah.
Bila anda punya ilmu pengetahuan dan
teknologi tentang apa saja maka yang penting adalah bagaimana ilmu yang
diperoleh itu disyukuri dengan jalan menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Demikian juga dengan sistem panen hujan ini setelah anda
paham maka penulis ingin mengajak untuk menerapkannya. Mulailah dari
yang kecil, mulailah sekarang dan anjurkanlah kepada orang lain. Di sini
akan berlaku ilmu yang bermanfaat dan amal jariah. Wassalamu alaikum,
walhamdulillahirabbil ‘alamin.
Penulis,
H. Supli Effendi Rahim; Desember 2007; zulhijjah 1428 H Dedicated sincerely to my lates mother and father in_law: Hj Umi Kalsum, H. Damiri Rais, grand fathers Merinsan & Hamzah, grand mother Muntianan & Nurmima, Father H. Rahim, mother Hj. Rahina, sister Asmiti: last not least my wife Dr. Hj. Nurhayati & all children; my adopted father & mother H. Rohimi & family; bothers and sisters; all of my teachers in Palembang, Bengkulu and Bedford England.
H. Supli Effendi Rahim; Desember 2007; zulhijjah 1428 H Dedicated sincerely to my lates mother and father in_law: Hj Umi Kalsum, H. Damiri Rais, grand fathers Merinsan & Hamzah, grand mother Muntianan & Nurmima, Father H. Rahim, mother Hj. Rahina, sister Asmiti: last not least my wife Dr. Hj. Nurhayati & all children; my adopted father & mother H. Rohimi & family; bothers and sisters; all of my teachers in Palembang, Bengkulu and Bedford England.
No comments:
Post a Comment