Saturday 11 May 2013

MENGHITUNG DEBIT LIMPASAN PERMUKAAN

 Menghitung limpasan permukaan (run off) pada suatu areal lahan penting untuk maksud perencanaan penggunaan lahan. Dari perhitungan pendugaan runoff itu dapat dibuat perencanaan untuk berbagai hal, salah satunya adalah upaya apa yang dapat dilakukan dalam rangka mengendalikan runoff dan erosi tanah. Selain itu, para perencana dapat merencanakan pembuatan waduk, palung atau hanya cekdam atau embung dalam rangka melakukan konservasi air. Dengan demikian, perencanaan yang holistik dapat dibuat, dalam rangka membangun ramah lingkungan.

Dengan menggunakan rumus Rasional, pendugaan debit air limpasan dapat dilakukan dengan mudah. Debit air limpasan adalah volume air hujan per satuan waktu yang tidak mengalami infiltrasi sehingga harus dialirkan melalui saluran drainase. Debit air limpasan terdiri dari tiga komponen yaitu Koefisien Run Off ( C ), Data Intensitas Curah Hujan (I), dan Catchment Area (Aca).

Koefisien yang digunakan untuk menunjukkan berapa bagian dari air hujan yang harus dialirkan melalui saluran drainase karena tidak mengalami penyerapan ke dalam tanah (infiltrasi). Koefisien ini berkisar antara 0-1 yang disesuaikan dengan kepadatan penduduk di daerah tersebut. Semakin padat penduduknya maka koefisien Run-Offnya akan semakin besar sehingga debit air yang harus dialirkan oleh saluran drainase tersebut akan semakin besar pula.

Intensitas hujan adalah tinggi curah hujan dalam periode tertentu yang dinyatakan dalam satuan mm/jam. Dalam studi ini, rumus empiris untuk menghitung intensitas hujan dalam menentukan debit puncak dengan metode Rasional Modifikasi, digunakan rumus Mononobe. Hal ini dikarenakan menyesuaikan dengan kondisi luas wilayahnya. Langkah pertama dalam metode ini adalah menentukan curah hujan maksimun pada masing masing-masing tahun untuk kemudian dilakukan perhitungan hujan rancangan dengan metode Log-Person Tipe III. Adapun metode Log-Person TipeIII adalah sebagai berikut;
  • mengubah data curah hujan maksimum ke bentuk logaritma à X = log X;
  •  
  • menghitung harga rata-rata log X à    log Xrerata =   
  • menghitung selisih antara logX dengan log Xrerata;
  • mengkuadratkan selisih antara logX dengan log Xrerata;
  • selisih antara logX dengan log Xrerata dipangkatkan 3;
  •  
  • menghitung standar deviasinya à  Sd =  ; dan
  • menghitung koefisien kemencengannya
    • Cs =
Setelah menghitung parameter statistiknya, kemudian menghitung hujan rancangan dengan menggunakan metode Log-Person Tipe III dengan langkah-langkah seperti di bawah ini :
  • menentukan tahun interval kejadian / kala ulang (Tr);
  • menghitung prosentase peluang terlampaui à Pr =    ;
  • menentukan variabel standar (K) berdasarkan prosentase peluang dan koefisien kemencengan (Cs) pada tabel distribusi Log-Person Tipe III; dan
  • menghitung hujan rancangan (R)  dengan cara à logX + K , Sd kemudian hasilnya di-antilog-kan.
Setelah mengetahui hujan rancangan, selanjutnya menghitung intensitas hujan pada tiap-tiap saluran di masing-masing Catchment Area dengan langkah-langkah sebagai berikut ini :
Keterangan :                 Tr            =  tahun interval kejadian / kala ulang
                    K          =   variabel standar berdasarkan prosentase    peluang dan koefisien kemencengan (Cs) pada tabel distribusi Log-Person Tipe III
                     R          =   menghitung hujan rancangan
  1. menghitung waktu curah hujan (Tc) à Tc = ;
L : panjang saluran, s : kemiringan saluran.
  • menghitung intensitas hujan à I =  dimana R24 adalah hujan rancangan yang didapatkan dari perhitungan sebelumnya.
Catchment Area atau daerah tangkapan air hujan adalah daerah tempat hujan mengalir menuju ke saluran. Biasanya ditentukan berdasarkan perkiraan dengan pedoman garis kontur. Pembagian Catchment Area didasarkan pada arah aliran yang menuju ke saluran Conveyor ke Maindrain.
Berdasarkan 3 komponen diatas maka besarnya debit air limpasan (Qlimpasan) dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Q-limpasan = 0,278, C , I , ACA
Keterangan :
Q           =          Debit aliran air limpasan (m3/detik)
C            =          Koefisen run off (berdasarkan standar baku)
 I            =          Intensitas hujan (mm/jam)
ACA      =          Luas daerah pengaliran (ha)
 
bacaan:
 
spk2009
 

PENGENDALIAN EROSI TANAH DALAM RANGKA MELESTARIKAN LINGKUNGAN


index.jpeg
Latar Belakang


Manusia menggantungkan hidupnya kepada sumberdaya tanah dalam rangka memenuhi hajat hidup mereka dan intensitasnya terus meningkat. Sebagai konsekuensi dari hal itu terjadinya peningkatan tekanan penduduk terhadap lingkungan tanpa memperhatikan kemampuan lingkungan itu sendiri. Keadaan ini akan mendorong kemerosotan sumberdaya tanah baik mutu maupun jumlahnya. Gejala fisik yang nampak jelas di tempat kejadian (on site) adalah semakin tipisnya lapisan tanah, sehingga kemampuan fungsi tanah sebagai media tumbuh tanaman dan media pengatur daur air menjadi terbatas yang pada akhirnya kemunduran kemampuan lingkungan tidak dapat terhindarkan.

Beberapa fungsi tanah yang dapat dikemukakan yaitu antara lain sumber unsur hara, sumber air, penyedia udara, landasan tumbuh bagi tanaman, tempat hidup bagi hewan dan manusia, tempat dikuburkannya manusia, sebagai bahan urugan perumahan dan jalan, tempat mendirikan bangunan, sanitasi lingkungan (penyaring, penyangga, dan alihrupa), dan bahan pembuat manusia pertama (Adam). Sebagian dari fungsi tanah tersebut yaitu sumber unsur hara, sumber air, penyedia udara, dan landasan tumbuh bagi tanaman lebih berorientasi pada media tumbuh tanaman (pertanian), sehingga di sini pembahasannya ditekankan pada hal-hal tersebut.

Dalam Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) No.32 Tahun 2009 dinyatakan bahwa: "Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa". Sedangkan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa: "... Asas berkelanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan". Karena itu, dalam mengelola sumberdaya alam harus diupayakan untuk melestarikan kemampuan lingkungan. 

Namun demikian, lingkungan hidup yang lestari tentunya tidak mungkin diwujudkan secara fisik, tetapi yang dapat dilestarikan hanyalah fungsi dari lingkungan hidup itu sendiri. Hal ini sesuai dengan bunyi UULH No. 32 Tahun  2009 yaitu bahwa: "Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup". 

Sumberdaya alam yang utama adalah air dan tanah. Salah satu faktor yang turut mempercepat kemerosotan kemampuan sumberdaya alam yaitu terjadinya erosi. Timbulnya erosi akan menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pengendali tata air, media pertumbuhan tanaman yang nantinya akan berpengaruh pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya.

Sebagian besar daerah-daerah di Indonesia yang beriklim tropika mempunyai rata-rata curah hujan dan intensitas hujan yang relatif tinggi serta didukung kondisi topografi yang berbukit-bukit merupakan salah satu pemacu timbulnya proses erosi. Bahaya erosi ini akan semakin mengkhawatirkan, apabila di dalam mengelola sumberdaya alam tanpa memperhatikan kaidah konservasi sumberdaya alam khususnya sumberdaya tanah, sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kelestarian kemampuan fungsi lingkungan. Upaya pelestarian ini salah satunya adalah melalui pengendalian erosi tanah di setiap tipe penggunaan lahan (Rahim, S.E., 2003). Untuk itu usaha pengendalian erosi secara tepat perlu dilakukan dalam upaya melestarikan kemampuan fungsi lingkungan.


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi
Erosi merupakan suatu proses hilangnya lapisan tanah, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin (Foth, 1995, halaman 665-666). Di daerah beriklim tropika basah, seperti sebagian besar daerah di Indonesia, air hujan merupakan penyebab utama terjadinya erosi sehingga di sini pembahasannya dibatasi erosi tanah yang disebabkan oleh air.

Menurut Arsyad S. (1989, halaman 30), erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan pada suatu tempat lain. Pengangkutan atau pemindahan tanah tersebut terjadi oleh media alami yaitu antara lain air atau angin. Erosi oleh angin disebabkan oleh kekuatan angin, sedangkan erosi oleh air ditimbulkan oleh kekuatan air. 

Kekuatan perusak air yang mengalir di atas permukaan tanah akan semakin besar dengan semakin panjangnya lereng permukaan tanah. Tumbuhan-tumbuhan yang hidup di atas permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil kekuatan butir-butir perusak hujan yang jatuh, serta daya dispersi dan angkutan aliran air di atas permukaan tanah. Perlakuan atau tindakan-tindakan yang diberikan manusia terhadap tanah dan tumbuh-tumbuhan di atasnya akan menentukan kualitas lahan tersebut.

Erosi merupakan akibat interaksi antara faktor-faktor iklim, topografi, tumbuh-tumbuhan, dan campur tangan manusia (pengelolaan) terhadap lahan, yang secara deskriptif dinyatakan dalam persamaan seperti di bawah ini :
E = f (i, r, v, t, m)
E = besarnya erosi,
i = iklim,
r = topografi,
v = tumbuh-tumbuhan,
t = tanah,
m = manusia.

Persamaan umum erosi tanah tersebut di atas mempunyai makna dua jenis peubah, yaitu: 1) Faktor yang dapat diubah oleh manusia, seperti; tumbuh-tumbuhan, sifat-sifat tanah, dan satu unsur topografi yaitu panjang lereng, 2) Faktor yang tidak dapat diubah oleh manusia yaitu; iklim, tipe tanah, dan kecuraman lereng.


Dampak Erosi
Secara garis besar kerusakan yang timbul akibat adanya erosi tanah yaitu penurunan kesuburan tanah dan timbulnya pendangkalan akibat proses sedimentasi (Wudianto R., 1989, halaman 11 - 13).
Tanah yang subur umumnya terdapat pada lapisan tanah atas atau permukaan (top soil), sedang lapisan tanah bawah (sub soil) dapat dikatakan kurang subur. Apabila terjadi hujan dan dapat menimbulkan erosi, maka lapisan tanah ataslah yang akan terkikis kemudian terbawa oleh aliran air. Dengan terangkutnya lapisan tanah atas, maka tertinggal lapisan tanah bawah yang kurang subur. Kemudian jika tanah tersebut ditanami, maka tanaman tidak akan dapat tumbuh subur dan hasilnya akan berkurang. Dengan berkurangnya hasil panen akan mengurangi pendapatan petani. 

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa proses terjadinya erosi adalah terkikisnya butir-butir tanah, kemudian dengan adanya aliran air butir-butir tanah terangkut sampai tidak mampu lagi mengangkut butir-butir tanah, maka tanah tersebut diendapkan. Pengendapan ini akan terjadi pada daerah yang lebih rendah, misalnya: sungai, waduk, saluran-saluran pengairan dan laut.

Pengendapan di sungai akan mengakibatkan pendangkalan yang dapat mengurangi kemampuan sungai untuk menampung air sehingga pada musim penghujan biasanya akan terjadi banjir. Pendangkalan sungai dapat mengganggu lalu lintas pelayaran kapal. Seperti diketahui bahwa sejarah telah membuktikan dulu sungai-sungai di Jawa masih dapat dilewati kapal, namun sekarang sudah tidak ada lagi sehingga tinggal sungai-sungai yang ada di luar pulau Jawa yang dapat dilalui kapal-kapal.
Sebagai akibat pendangkalan sungai ini dapat merembet ke laut, karena aliran air sungai bermuara ke laut. Sekarang banyak pelabuhan yang mengalami pendangkalan. Dengan terjadinya pendangkalan di pelabuhan, maka kapal-kapal besar akan mengalami kesulitan untuk merapat.

Pendangkalan di waduk juga sulit untuk dihindarkan. Dengan makin dangkalnya waduk dapat mengurangi umur waduk. Artinya, daya guna waduk yang semula diperkirakan dapat lama, ternyata baru beberapa tahun saja sudah tidak berfungsi lagi. Sebagai contoh waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, Jawa Tengah. Waduk ini diperkirakan dapat mencapai umur 100 tahun ternyata setelah diteliti karena adanya sedimentasi maka hanya dapat mencapai lebih kurang 27 tahun.
Menurut Arsyad (1989, halaman 3 - 4), dampak erosi tanah terhadap lingkungan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bentuk dampak langsung maupun tidak langsung yang dikaji di tempat kejadian erosi maupun di luar tempat berlangsungnya erosi, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Dampak Erosi Tanah.
Bentuk Dampak
Dampak di Tempat Kejadian
Dampak di Luar Tempat
Erosi
Kejadian Erosi
1. Langsung
- Kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman
- Pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya
- Kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah
- Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan lainnya
- Peningkatan penggunaan energi untuk produksi
- Menghilangnya mata air dan memburuknya kualitas air
- Kemerosotan produktivitas tanah atau bahkan menjadi tidak dapat dipergunakan untuk berproduksi
- Kerusakan ekosistem perairan (tempat bertelur ikan, terumbu karang dan sebagainya)
- Kerusakan bangunan konservasi dan bangunan lainnya
- Kehilangan nyawa dan harta oleh banjir
- Pemiskinan petani penggarap/ pemilik tanah
- Meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan
2. Tidak Langsung
- Berkurangnya alternatif penggunaan tanah
- Kerugian oleh memendeknya umur waduk
- Timbulnya dorongan/ tekanan untuk membuka lahan baru
- Meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir
- Timbulnya keperluan akan perbaikan lahan dan bangunan yang rusak
Sumber: Arsyad S. (1989)
Mengingat bahaya erosi yang merugikan bagi lingkungan, sejak beberapa tahun yang lampau manusia telah menyadari dan melakukan berbagai usaha pencegahan (pengendalian) erosi.


Klasifikasi Erosi Tanah
Atas dasar intensitas campur tangan manusia, erosi dibedakan antara erosi alami atau erosi geologi (geological erosion) dan erosi dipercepat (accelarated erosion) (Arsyad S., 1989, halaman 30). Erosi geologi terjadi secara alami pada tanah yang masih tertutup vegetasi secara alami, dan biasanya berjalan sangat lambat. Dalam kondisi seperti ini, jumlah tanah terangkut sangat sedikit, dan baru akan meningkat jika terjadi bencana alam yang berakibat tanah jadi terbuka. Erosi dipercepat terjadi karena manusia membuka tanah dengan membuang vegetasi baik sebagian maupun seluruhnya, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (tempat tinggal, industri, usaha tani, dan lain-lain). Proses erosi ini akan berjalan dengan cepat, terlebih di daerah yang mempunyai potensi erosi dan tanpa usaha pengendalian.


Erosi yang terjadi dapat dibedakan berdasarkan produk akhir yang dihasilkan proses itu sendiri. Erosi juga dapat dibedakan karena kenampakan lahan akibat erosi itu sendiri. Atas dasar itu erosi dibedakan yaitu : 1) erosi percikan (splash erosion), 2) erosi lembar (sheet erosion), 3) erosi alur (rill erosion), 4) erosi parit (gully erosion), 5) erosi tanah longsor (land slide), 6) erosi pinggir sungai (stream bank erosion) (Rahim S.E., 1995, halaman 33 - 34).

Erosi percikan terjadi pada awal hujan. Intensitas erosi percikan meningkat dengan adanya air genangan tetapi setelah terjadi genangandengan kedalaman tiga kali ukuran butir hujan, erosi percikan minimum. Pada saat inilah proses erosi lembaran dimulai. Erosi lembar akan dapat ditemukan secara jelas di daerah yang relatif seragam permukaannya.

Erosi alur dimulai dengan adanya konsentrasi limpasan permukaan. Konsentrasi yang besar akan mempunyai daya rusak yang besar. Bila ukuran alur sudah sangat besar, tidak dapat dihilangkan hanya dengan melakukan pembajakan biasa, atau alur tersebut berhubungan langsung dengan saluran pembuangan utama, maka erosi yang terjadi telah memenuhi kategori erosi parit. Sedangkan erosi tanah longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa tanah secara bersama-sama. Hal ini disebabkan karena kekuatan geser tanah sudah tidak mampu untuk menahan beban massa tanah jenuh air di atasnya. Kejadian ini terutama terjadi pada lapisan tanah atas dangkal yang terletak lepas di batuan atau lapisan tanah tidak tembus air (impermeable). Adapun erosi pinggir sungai yang mirip erosi tanah longsor mengikis pinggir sungai-sungai yang karena sesuatu hal mengalami longsor terutama bila pinggir sungai itu vegetasi alaminya ditebang dan diganti dengan tanaman baru.


Batas Toleransi Erosi
Sebagai sumber daya yang banyak digunakan, tanah dapat mengalami pengikisan (erosi) akibat bekerjanya gaya-gaya dari agen penyebab, misalnya air hujan, angin dan/atau hujan. Jadi, secara alamiah tanah mengalami pengikisan atau erosi (Rahim S.E., 1995).

Erosi dipercepat yang disebabkan oleh manusia, masih dianggap aman jika tidak melewati suatu batas toleransi (soil loss tolerance atau permisible erosion). Banyak pendapat para pakar erosi yang mengemukakan besarnya batas toleransi erosi, yang masing-masing berbeda tergantung dari faktor lingkungan di sekitarnya. Secara khusus, penelitian batas toleransi erosi untuk tanah-tanah di Indonesia sampai saat ini belum ada. Oleh Arsyad (1989, halaman 237 - 244), dianjurkan untuk mempergunakan batas toleransi erosi yang dikemukakan oleh Thompson (1957), seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pedoman Penetapan Nilai T (batas toleransi erosi) (Thompson, 1957)
Sifat Tanah dan Substratum
Nilai T
Ton/acre/tahun
Ton/ha/tahun
1. Tanah dangkal di atas batuan
0,5
1,12
2. Tanah dalam, di atas batuan
1,0
2,24
3. Tanah dengan lapisan bawahnya (subsoil) padat,
di atas substrata yang tidak terkonsolidasi (telah
mengalami pelapukan)
2,0
4,48
4. Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas
lambat, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi
4,0
8,96
5. Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas
sedang, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi
5,0
11,21
6. Tanah yang lapisan bawahnya permeabel (agak
cepat), di atas bahan yang tidak terkonsolidasi
6,0
13,45

 Dengan menggunakan kriteria yang dipergunakan oleh Thompson (1957), dengan menentukan T maksimum untuk tanah yang dalam, dengan lapisan bawah yang permeabel, di atas bahan (substratum) yang telah malapuk (tidak terkonsolidasi) sebesar 2,5 mm/tahun, dan dengan menggunakan nisbah nilai untuk berbagai sifat dan stratum tanah, maka nilai T seperti tertera pada Tabel 3 disarankan untuk menjadi pedoman penetapan nilai T tanah-tanah di Indonesia.

Tabel 3. Pedoman Penetapan Nilai T Untuk Tanah-tanah di Indonesia.
Sifat Tanah dan Substratum
Nilai T
mm/tahun
1. Tanah sangat dangkal di atas batuan
0,0
2. Tanah sangat dangkal di atas bahan telah melapuk (tidak terkonsolidasi)
0,4
3. Tanah dangkal di atas bahan telah melapuk
0,8
4. Tanah dengan kedalaman sedang di atas bahan telah melapuk
1,2
5. Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang kedap air di atas substrata yang telah melapuk
1,4
6. Tanah yang dalam dengan lapisan bawah berpermeabilitas lambat, di atas substrata telah melapuk
1,6
7. Tanah yang dalam dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang, di atas substrata telah melapuk
2,0
8. Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang permeabel, di atas substrata telah melapuk
2,5
Catatan :
Kedalaman tanah efektif yaitu kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman, yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus akar tanaman. Kriterianya : > 90 cm = dalam,
50 - 90 cm = sedang,
25 - 50 cm = dangkal,
< 25 cm = sangat dangkal.


Persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation)

Lahan pertanian yang terus menerus ditanami tanpa cara pengelolaan tanaman, tanah dan air yang baik dan tepat, terutama di daerah pertanian dengan curah hujan yang tinggi (> 1500 mm per tahun) akan menurunkan produktivitasnya. Penurunan produktivitas ini secara lambat atau cepat dapat disebabkan oleh menurunnya kesuburan tanah dan terjadinya erosi (Syah, R., 1995).
Bahaya erosi ini banyak terjadi di daerah-daerah lahan kering terutama yang memiliki kemiringan lereng sekitar 15 persen atau lebih. Keadaan ini sebagai akibat dari pengelolaan tanah dan air yang keliru atau penerapan pola pertanian yang tidak sesuai dengan kemampuan fungsi lingkungannya.


Tanah dan air merupakan dua sumber daya alam yang utama, peka terhadap berbagai kerusakan (degradasi). Kerusakan air berupa hilangnya sumber air dan menurunnya kualitas air antara lain disebabkan oleh proses sedimentasi yang bersumber pada kerusakan tanah oleh erosi. Di daerah tropika basah kerusakan tanah yang paling utama dan semakin kritis adalah disebabkan oleh erosi tanah.
Kerusakan tanah yang kadang-kadang sampai pada tingkat kritis seperti penurunan produktivitas tanah, banjir yang terjadi setiap tahun, merosotnya debit air sungai di musim kemarau dan meningkatnya kandungan lumpur atau bahan organik pada musim hujan merupakan tanda-tanda kerusakan sumberdaya alam di suatu wilayah .


Laju erosi yang menyatakan banyaknya lapisan tanah yang hilang dari suatu tempat karena proses erosi, merupakan salah satu indikator kecepatan proses perusakan. Perhitungan laju erosi dapat dilakukan secara nisbi (relatif), yaitu berdasarkan nilai bahaya atau besarnya nilai faktor-faktor yang mempengaruhi erosi. Perkiraan atau prediksi besarnya laju erosi yang mungkin terjadi di lapangan dapat ditentukan antara lain dengan menggunakan metode Wischmeier dan Smith (1978) yang dikenal dengan Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT) atau dalam bahasa Inggris Universal Soil Loss Equation (USLE) , yaitu sebagai berikut :


A = R x K x L x S x C x P

A adalah banyaknya tanah tererosi (ton/ha/tahun),
R adalah faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30 ), tahunan,
K adalah faktor erodibilitas (kepekaan) tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan � untuk suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 22 meter (72,6 kaki) terletak pada lereng 9 % tanpa tanaman,
L adalah faktor panjang lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang lereng 22 meter (72,6 kaki) di bawah keadaan yang identik,
S adalah faktor kemiringan/kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi dari suatu tanah dengan kemiringan lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9 % di bawah keadaan yang identik,
C adalah faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman,
P adalah faktor tindakan khusus konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus seperti pengolahan tanah menurut kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan yang identik.


Metode Pengendalian Erosi
Usaha pengendalian erosi pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 metode, yaitu :
1. Metode Vegetatif
Metode ini mempergunakan tumbuhan atau tanaman dan sisa-sisanya untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, jumlah dan daya rusak aliran permukaan. Fungsi tumbuhan dalam metode ini untuk : a) melindungi tanah dari daya perusak butir-butir hujan, b) melindungi tanah dari aliran permukaan, dan c) memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahanan air yang akan mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Termasuk dalam metode vegetatif ini diantaranya; budidaya tanaman semusim (jagung, kacang tanah, dan lain-lain) secara musiman atau tanaman permanen, penanaman dalam strip cropping, pergiliran tanaman, sistem pertanian hutan (agro forestry), pemanfaatan sisa tanaman.
  1. Metode Mekanik
Metode mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, serta meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Metode mekanik dalam pengendalian erosi berfungsi: a) memperlambat aliran permukaan, b) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak, c) memperbaiki atau memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah, serta d) menyediakan air bagi tanaman. Termasuk dalam metode mekanik adalah pengolahan tanah (tillage), pengolahan tanah menurut kontur (contour cultivation), guludan dan guludan bersaluran menurut kontur, teras (teras bangku, teras berlereng), dam penghambat (check dam, waduk, rorak, tanggul), dan perbaikan drainase.
  1. Metode Kimiawi
Metode kimia dalam pengendalian erosi menggunakan preparat kimia sintetis atau alami. Metode ini sering dikenal dengan sebutan soil conditioner, yang bertujuan memperbaiki struktur tanah. Beberapa contoh soil conditioner yaitu; PVA (Polyvinyl alcohol), PAA (Poly acrylic acid), VAMA (Vinyl acetate malcic acidcopolymer), DAEMA (Dimethyl amino ethyl metacrylate), dan Emulsi Bitumen.
Sering pula dilakukan pengendalian erosi dengan mengkombinasikan dari dua metode pengendalian erosi atau bahkan ketiga metode tersebut di atas digunakan secara bersamaan dalam usaha mengendalikan erosi.


Penutup
Sejumlah usaha untuk pengendalian erosi tanah telah tersedia, masing-masing mempunyai nilai keuntungan ekonomis yang berbeda, serta mempunyai kemampuan yang berbeda pula dalam menekan laju erosi. Selain macam tanaman, sistem pengelolaan dan metode pengendalian yang digunakan berpengaruh terhadap besarnya laju erosi. Oleh karena itu, perlu dicarikan berbagai alternatif pemilihan usaha pengendalian erosi tanah berdasarkan keuntungan dan risiko besarnya erosi yang mungkin terjadi. Selanjutnya para pengelola sumberdaya (misal: petani) dapat diarahkan agar bersedia untuk memilih tanaman dan metode pengendalian erosi yang mampu memberi keuntungan cukup tinggi serta risiko timbulnya erosi serendah-rendahnya.


 

Daftar Pustaka

Arsyad S., 1989, Konservasi Tanah dan Air, IPB Press, Bogor.
Foth H.D., 1995, Dasar-dasar Ilmu Tanah, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Rahim S.E, , Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pengendalian Erosi Tanah, UNSRI, Palembang. 
Rahim S.E., Pengendalian erosi tanah dalam rangka pelestarian lingkungan hidup. Bumi Aksara, Jakarta.
Schwab G.O., Richard K.F., Kenneth K.B., 1981, Soil and Water Conservation Engineering, John Wiley & Sons, New York.
Syah A.R., 1995, Penentuan Erosi dan Sedimentasi Pada Daerah Aliran Sungai (DAS), Majalah Ilmiah Universitas Jambi No.45 Tahun 1995, Jambi.
Wudianto, R., 1989, Mencegah Erosi, Penebar Swadaya, Jakarta.

bahan: ut.ac.id
 

BANJIR DI JAKARTA DAN PENYEBABNYA

SILABUS KTA

Matakuliah KTA membahas dan/atau mendiskusikan tentang pengantar umum Konservasi Tanah dan Air (KTA), definisi dan pengertian KTA, erosi, sedimentasi, banjir dan lahan kritis, proses dan mekanisme erosi, sedimentasi, banjir dan tanah longsor, serta pengukuran parameter-parameter yang terkait dengan KTA, prediksi dan evaluasi bahaya erosi, metode KTA dan teknik pengendalian erosi, serta seminar topik pilihan.

Silabus Mata Kuliah

I. Pengantar
 a. Sumberdaya Tanah dan Air (SDTA)
b. Manfaat dan Risiko Kerusakan SDTA
c. Peranan Konservasi Tanah dan Air (KTA)
d. Ilmu-ilmu Pengetahuan Penunjang Matakuliah KTA

II. Pengertian dan Komponen KTA
a. Konservasi Tanah dan Air
b. Erosi dan Jenis Erosi
c. Sedimentasi dan Banjir
d. Lahan Kritis dan Klasifikasi Lahan Kritis

III. Proses dan Mekanisme Komponen KTA
a. Erosi
b. Sedimentasi
c. Banjir
d. Tanah Longsor

IV. Pengukuran Parameter-parameter KTA
a. Curah Hujan, Limpasan Air Permukaan dan Erosi
b. Infiltrasi dan Permeabilitas Tanah
c. Debit Limpasan Air Sungai
d. Konsentrasi Sedimen Melayang dan Total Sedimen

V. Prediksi dan Evaluasi Bahaya Erosi
  a. Prediksi Erosi dengan Metode USLE
b. Prediksi Erosi dengan Metode Modifikasi USLE dan Revisi USLE
c. Prediksi Erosi dengan Metode SDR
d. Evaluasi Bahaya Erosi

VI. Metode KTA dan Pengendalian Erosi
a. Metode Vegetatif
b. Metode Mekanik dan/atau Teknik Sipil
c. Metode Kimia
d. Pencegahan dan Penanggulangan Erosi

VII. Seminar
a. Telaah Hasil-hasil Penelitian KTA yang dipilih.
b. Seminar topik KTA pilihan oleh kelompok mahasiswa.

EROSI DAN JENIS-JENISNYA

Di daerah tropis, seperti di negara kita mempunyai curah hujan tinggi sehingga erosi yang disebabkan oleh angin tidak begitu banyak terjadi. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Tanah yang terangkut tersebut akan diendapkan di tempat lain: didalam sungai, waduk, danau, saluran irigasi dan sebagainya.

Berbicara tentang erosi, maka tidak lepas dari aliran permukaan. Dengan adanya aliran air di atas permukaan tanah, tanah dapat terkikis dan selanjutnya diangkut ke tempat yang lebih rendah. Dengan demikian terjadilah perpindahan lapisan tanah; mineral-mineral dan bahan organik yang terdapat pada permukaan tanah (Sjahrullah, 1987).
Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh media alami ketempat lain (Arsyad, 1989).

Ada dua macam erosi, yaitu erosi normal dan erosi dipercepat. Erosi normal juga disebut erosi geologi atau erosi alami merupakan proses-proses pengangkutan tanah yang terjadi dibawah keadaan vegetasi alami. Biasanya terjadi dengan laju yang lambat yang memungkinkan terbentuknya tanah yang tebal yang mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal. Erosi dipercepat adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia yang mengganggu keseimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan tanah (Arsyad, 1989).

Erosi dipercepat dapat menimbulkan berbagai masalah antara lain (Arsyad, 1989; dalam Nasiah 2000) sebagai berikut :
a. Merosotnya peroduktivitas tanah pada lahan yang tererosi, yang disertai dengan merosotnya daya dukung serta kualitas lingkungan hidup.
b. Sungai, waduk, dan saluran irigasi/drainase di daerah hilir menjadi dangkal, sehingga daya guna dan basil guna berkurang.
c. Secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya banjir yang kronis pada setiap musim penghijauan dan kekeringan pada musim kemarau.
d. Dapat menghilangkan fungsi hidrologi tanah.

Menurut bentuknya, erosi dibedakan dalam : erosi percik, erosi lembar, erosi alur, erosi parit, erosi tebing sungai, erosi internal dan tanah longsor (Suripin 2001).
1. Erosi Percik (Splash erosion) adalah proses terkelupasnya patikel-partikel tanah bagian atas oleh tenaga kinetik air hujan bebas atau sebagai air lolos. Arah dan jarak terkelupasnya partikel-partikel tanah ditentukan oleh kemiringan lereng, kecepatan dan arah angin, keadaan kekasaran permukaan tanah, dan penutupan tanah.
2. Erosi Lembar (Sheet erosion) adalah erosi yang terjadi ketika lapisan tipis permukaan tanah di daerah berlereng terkikis oleh kombinasi air hujan dan air larian (runoff).
3. Erosi Alur (Rill erosion) adalah pengelupasan yang diikuti dengan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh aliran air larian yang terkonsentrasi di dalam saluran-saluran air. Alur-alur yang terjadi masih dangkal dan dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah.
4. Erosi Parit (Gully erosion) proses terjadinya sama dengan erosi alur, tetapi saluran yang terbentuk sudah sedemikian dalamnya sehingga tidak dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah biasa.
5. Erosi Tebing Sungai (Streambank erosion) adalah pengikisan tanah pada tebing-tebing sungai dan pengerusan dasar sungai oleh aliran air sungai. Erosi tebing akan lebih hebat jika vegetasi penutup tebing telah habis atau jika dilakukan pengolahan tanah terlalu dekat tebing.
6. Erosi Internal (Internal or subsurface erosion) adalah terangkutnya butir-butir primer kebawah ke dalam celah-celah atau pori-pori tanah sehingga tanah menjadi kedap air dan udara. Erosi internal menyebabkan menurunnya kapasitas infiltrasi tanah dengan cepat sehingga aliran permukaan meningkat yang menyebabkan terjadinya erosi lembar atau erosi alur.
7. Tanah Longsor (Landslide) adalah suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat dalam volume yang besar.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nasiah. 2000. Evaluasi Kemampuan Lahan dan Tingkat Bahaya Erosi Untuk Prioritas Konservasi Lahan di Daerah Aliran Sungai Takapala Kabupaten Dati II Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. Tesis. Program Pasca sarjana, UGM. Yogyakarta.

PREDIKSI LAJU EROSI TANAH TAHUNAN

index.jpeg
 
Prediksi erosi sangat bermanfaat untuk menentukan cara pencegahan erosi atau sistem pengelolaan tanah pada umumnya, sehingga kerusakan tanah oleh erosi dapat ditekan sekecil mungkin.

Dalam menentukan jumlah tanah yang mungkin tererosi dari sebidang tanah di bawah suatu sistem pengelolaan tertentu, perlu ditetapkan berapa besarnya erosi dari tanah tersebut yang masih dapat diperkenangkan/diperbolehkan. Untuk memprediksi erosi tanah, soil conservation service USDA memperhitungkan lima faktor yang mempengaruhi erosi yaitu iklim, topografi, vegetasi, tanah dan manusia, yang dikenal dengan rumus Universal Soil Loss Equation (Kartasapoetra, 2000).


Gabriels dalam Kartasapoetra, (2000) menyederhanakan faktor-faktor yang mempengaruhi erosi menjadi dua, yaitu erositivitas dan erodibilitas. Jika faktor-faktor kriteria USDA dan yang ditemukan Hudson dalam Kartasapoetra (2000) digabungkan dalam bentuk bagian yang nampak dalam Gambar 2.2. Faktor –faktor penyebab erosi.

Gambar 2.2 faktor-faktor Penyebab erosi (Kartasapoetra, 2000).

Untuk memprediksi besarnya erosi dari sebidang tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam penanaman dan tindakan pengelolaan yang mungkin dilakukan atau yang sedang dilakukan atau yang sedang dipergunakan, digunakan Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT) atau Universal Soil Loss Equation (USLE) (Wischmeier dan Smith, 1978 dalam Arsyad 1989) dan rumusnya adalah sebagai berikut


A = R. K. L. S. C.P

Dimana:


A = Banyaknya tanah tererosi dalam (ton/ha/tahun)
R = Faktor hujan dan aliran permukaan (ton/ha/tahun)
K = Faktor erodibilitas tanah merupakan kehilangan tanah persatuan luas untuk; indeks erosivitas hujan dari tanah terbuka dengan kelerengan 9% dan panjangnya 22,14 m.
L = Faktor panjang lereng (m)
S = Faktor kecuraman lereng (%)
C = Faktor pengelolaan Tanaman
P = Faktor praktek pengendalian erosi secara mekanis (Wichmeier dan Smith, 1978 dalam Asdak, 1995).

Persamaan tersebut oleh Wischmeier (1979) dianggap memiliki kegunaan sebagai berikut :
  1. Meramalkan kisaran kehilangan tanah tahunan lahan yang khusus;
  2. Memberikan petunjuk dalam memilih sistem pengelolaan pertanaman dan praktek konservasi secara mekanis yang cocok pada suatu lahan yang miring;
  3. Meramalkan perubahan kehilangan tanah yang akan dihasilkan akibat adanya perubahan sistem pengolahan pertanaman dan praktek konservasi secara mekanis pada suatu lahan;
  4. Menentukan bagaimana praktek-praktek konservasi harus dilakukan agar dapat diperoleh cara pengelolaan lahan yang lebih intensif;
  5. Meramalkan kehilangan tanah dari penggunaan lahan diluar pertanian (Ananta, 1991 dalam Nasiah, 2000).
Asdak, (1995) mengemukakan kelemahan dari persamaan tersebut yakni sebagai berikut :
  1. Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT) bersifat empiris dan secara matematik tidak mewakili proses erosi yang sebenarnya.
  2. Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKH) dirancang untuk memperkirakan besarnya kehilangan tanah rata-rata tahunan.
  3. Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT) hanya memperkirakan erosi.
  4. Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT) tidak memperhitungkan endapan sedimen.
Daftar Pustaka
Kartasapoetra, dkk. 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta.
Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nasiah. 2000. Evaluasi Kemampuan Lahan dan Tingkat Bahaya Erosi Untuk Prioritas Konservasi Lahan di Daerah Aliran Sungai Takapala Kabupaten Dati II Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. Tesis. Program Pasca sarjana, UGM. Yogyakarta.
Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. UGM Press. Yogyakarta.

EROSI YANG DIPERBOLEHKAN



Dalam merencanakan suatu kawasan untuk penggunaan lahan di bidang pertanian atau apapun perlu dilakukan upaya pendugaan laju erosi untuk masing-masing tipe penggunaan lahan. Dengan menggunakan rumus umum erosi tanah Rahim (2003) mampu membuat pembedaan tingkat erosi tanah untuk setiap penggunaan lahan. Untuk itu diperlukan laju erosi diperbolehkan (Edb). Erosi yang masih diperbolehkan adalah laju erosi yang dinyatakan dalam mm/tahun atau ton/ha/tahun yang terbesar yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi perumbuhan tanaman/tumbuhan yang memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari (Arsyad, 1989).

Menurut Kartasapoetra (2000), yang dimaksudkan dengan erosi yang masih diperbolehkan (Soil Loss Tolerance) yaitu untuk mengetahui besarnya erosi yang mungkin dapat diimbangi atau lebih diimbangi dengan tindakan atau perlakuan manusia yang dapat membantu lajunya pembentukan tanah, sehingga besarnya erosi selalu dibawah laju pembentukan tanah.

Kecepatan pembentukan tanah di Indonesia cukup beragam, tergantung dari jenis batuan (bahan) induk dan faktor-faktor pembentuk tanah lainnya. Suhu dan curah hujan yang tinggi di Indonesia juga mempercepat proses pembentukan tanah.

Thompson (1957) dalam Suprapta (1996) menentukan batas tingkat erosi yang masih diperbolehkan mendasarkan pada kedalaman tanah, permeabilitas lapisan bawah dan kondisi substratum. Wischmeier dan Smith (1978) mengemukakan dasar-dasar untuk menentukan tingkat erosi yang masih diperbolehkan dengan memperhatikan kedalaman tanah, sifat-sifat fisik tanah yang mempengaruhi perkembangan akar, pencegahan terbentuknya erosi parit, penyusunan kandungan bahan organik, kehilangan unsur hara dan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh sedimen di lapangan. Wischmeier dan Smith telah menetapkan angka tingkat erosi yang masih diperbolehkan adalah antara 4,48 sampai 111,21 ton/ha/th.

Menurut Bennet (1939), Hudson (1876) perkiraan pembentukan tanah atas setebal 2,5 cm, atau kira-kira 375 ton/hektar, terjadi selama 300 tahun dalam kondisi alami (Saifuddin, 1978, dalam Suprapta, 1996). Tetapi waktu pembentukan tanah ini dapat dipercepat menjadi kira-kira 30 tahun saja, apabila dilakukan pengelolaan tanah sehingga tata air dan tata udara diperbaiki dan penambahan bahan organik.

Suatu pembentukan tanah setebal 25 mm selama 30 tahun kira-kira akan sama dengan 12,5 ton/ha/th (Saifuddin, 1978, dalam Suprapta,1996). Sebagai gambaran besarnya tingkat erosi yang masih diperbolehkan sesuai dengan sifat tanah dan substrata, Soil Conservation Service.

Untuk tanah-tanah di Indonesia oleh Arsyad telah ditentukan besarnya tanah tererosi berdasarkan atas sifat tanah dan keadaan substratum yang dikenal dengan nilai “ T “ (laju erosi yang masih dibiarkan dalam mm).

Satuan lahan diartikan sebagai suatu areal lahan yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang dapat ditentukan batasnya pada peta (Mangunsukardjo, 1985, dimodifikasi dari FAO, 1978 dalam Nasiah, 2000). Batasan yang dimaksud adalah mengklasifikasikan lahan berdasarkan kesamaan kemiringan lereng, karakteristik relief/morfologi, struktur/litologi, proses geomorfologi, vegetasi/penggunaan lahan (Mangunsukardjo, 1985).

Dalam rencana penelitian ini satuan lahan diperoleh dari hasil tumpangsusun (overlay) peta kemiringan lereng, peta bentuklahan, peta penggunaan lahan, peta jenis tanah, dan peta geologi.

Daftar Pustaka

  • Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
  • Kartasapoetra, dkk. 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta.
  • Suprapto. 2000. Geomorpologi Dasar. Jurusan Geografi. FMIPA, UNM. Makassar. Suprojo, Suratman Woro dan Jamulya. 1993. Pengantar Geografi Tanah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada, Fakultas Geografi. Yogyakarta.
  • Nasiah. 2000. Evaluasi Kemampuan Lahan dan Tingkat Bahaya Erosi Untuk Prioritas Konservasi Lahan di Daerah Aliran Sungai Takapala Kabupaten Dati II Gowa Propinsi Sulawesi Selatan. Tesis. Program Pasca sarjana, UGM. Yogyakarta.